![]() |
Pasar Glodok sepi karena ditinggalkan oleh para pembeli |
Riong
Medan - Dalam CEO Forum Metro TV hari Kamis lalu (27/7/2017), saya sengaja
mengundang Perry Tristianto sebagai narasumber bersama para pengusaha properti.
Kami membutuhkan Perry untuk menguji kebenaran tentang lesunya pasar belakangan
ini.
Seperti
pengusaha ritel dan properti lainnya, ternyata Perry mengkonfirmasi lesunya
pasar. “Sulit,” ujarnya. “Tahun lalu saja sudah susah, tahun ini lebih susah
lagi. Dan tahun depan saya yakin akan semakin susah …". Tapi ujungnya
Perry mengatakan, "semakin susah bagi kita tak mau berubah!”
Perry yang
dikenal sebagai salah satu raja FO (Factory Outlet), tahu persis pendapatan
dari penjualannya di beragam FO di Bandung semakin hari semakin turun. Tetapi,
bedanya dengan pengusaha lainnya, ia tak mau menuding masalahnya ada di daya
beli.
“Sudahlah,”
ujarnya lagi di Rumah Perubahan. “Masalahnya bukan di daya beli, tetapi gaya
hidup masyarakat yang terus berubah. Cepat sekali,” tambahnya.
Lawan-lawan tak
kelihatan
Tentu saja
untuk melakukan validasi ucapan Perry, kita membutuhkan science.
Dan science membutuhkan data. Ilmu yang saya kuasai sesungguhnya bisa
melakukannya.
Hanya
masalahnya, lembaga-lembaga yang ditugaskan mengumpulkan data terperangkap
dalam sektor-sektor yang bisa dilihat secara kasat mata. Dan sektor-sektor itu
semuanya adalah konvensional.
Taksi
konvensional, properti konvensional, ritel konvensional, keuangan dan
pembayaran konvensional, penginapan (hotel) konvensional, otomotif yang dirajai
pemain-pemain lama, media dan periklanan konvensional dan seterusnya. Hampir
tak ada yang menunjukkan data substitusi atau prospek dari disruptornya. Ini
tentu bisa menyesatkan.
Sampai
kapanpun, kalau data-data yang dikumpulkan tetap seperti itu, maka kita akan semakin
cemas, sebab faktanya dunia konvensional cepat atau lambat akan ditinggalkan
konsumen baru, khususnya generasi millennials yang sekarang usianya sudah
mendekati 40 tahun.
Generasi
millennials itu mempunya cara pandang yang benar-benar berbeda dengan para incumbents yang
telah bertahun-tahun menjadi market leader. Uang (daya
beli) mereka memang belum sebesar generasi di atasnya yang lebih mapan, tetapi
mereka bisa mendapatkan barang-barang dan jasa-jasa yang jauh lebih murah di
jalur non-konvensional karena dunia ekonomi yang tengah peristiwa disruptif
yang luar biasa.
Di dunia baru
itu mereka dimanjakan pelaku usaha baru yang telah berhasil meremajakan business
process-nya. Mereka bukan pakai marketing konvensional (4P)
melainkan business model. Dan lawan-lawan tangguh
pemain-pemain lama itu kini hadir tak kasat mata, tak kelihatan.
Ibarat taksi
yang tak ada merknya di pintu, tanpa tulisan “taksi”, dan penumpang turun tak
terlihat tengah membayar. Sama sekali berada di luar orbit incumbent,
pengumpul data dari BPS dan lembaga-lembaga survei lainnya, ekonom, bahkan oleh
para wartawan sekaligus.
Kita hanya
disajikan angka-angka penurunan yang sudah diramalkan oleh penemu teori
Disruption, Christensen (1997), bahwa data-data itu sungguh tak valid. Pernyataan
Christensen itu bisa Anda buka di situs YouTube dalam suatu wawancara di kampus
MIT.
Di situ
Christensen menjelaskan pertemuannya dengan founder Intel, Andy
Groove yang sempat meninggalkannya setelah sekitar 5 menit mengundang
Christensen. Namun seminggu kemudian Andy menyesali perbuatannya dan kembali
mengundang penemu teori Disruption itu. Apa alasannya?
“Saya akhirnya
menyadari ucapan Anda bahwa pemain-pemain lama seperti Intel ini bisa
terdisrupsi oleh pendatang-pendatang baru yang masih kecil-kecil karena mereka
membuat produk yang simpel yang jauh lebih murah,” ujar Andy Groove seperti
ditirukan Christensen.
“Look,” ujarnya
lagi. “Saya membutuhkan data, tetapi dalam era disruption data yang ada sudah
tidak bisa dipakai lagi karena data yang kami kumpulkan adalah data-data
kemarin yang hanya cocok untuk melakukan pembenaran. Sedangkan kami butuh data
untuk melihat apa yang tengah dan yang akan terjadi besok. Jadi yang saya
butuhkan; kalau belum ada datanya adalah teori. Dan teori Anda menjelaskan proses shifting itu.”
Intel selamat
berkat disruptive
mindset-nya. Dan sekarang kita saksikan hal itu tengah terjadi
secara besar-besaran dalam landscape ekonomi Indonesia. Semua orang bingung.
Tabloid Kontan menyajikan judul menarik, “Gejala Anomali Ekonomi Indonesia”
sembari menunjukkan data-data penurunan pertumbuhan penjualan beragam sektor.
Sayangnya kita hanya membaca sektor-sektor yang, maaf, konvensional.
Kita tak cermat
membaca ketika penjualan sepeda motor turun sebesar 13,1 persen dan semen
turun1 persen untuk semester 1 tahun ini (dibanding periode yang sama tahun
lalu). Kemana ia beralih?
Juga tak kita
baca bahwa pendapatan PT Astra International naik 30 persen sepanjang semester
I tahun ini.
Yang lain kita
mendengarkan pandangan-pandangan yang saling bertentangan. Teman saya pengusaha
keramik terbesar di negeri ini mati-matian menjelaskan daya beli saat ini
sedang drop.
Tetapi Perry Tristianto mengatakan, “Dulu saja, Jakarta-Bandung atau sebaliknya
cukup 2 jam. Sekarang 5 – 7 jam. Sulit bagi saya untuk mengakui bahwa daya beli
turun?”
Saya tambahkan
lagi, selama mudik lebaran kemarin (dipantau sekitar 4 minggu), penumpang yang
terbang dari 13 bandara di lingkungan AP 2 naik sekitar 11 persen. Lalu di
Bandara Halim Perdanakusuma saja naiknya hingga 25 persen.
Blame and Confirmation trap
Kejadian-kejadian
ini jelas disukai para eksekutif yang bisnis-bisnisnya mengalami kelesuan.
Maaf, maksud saya, kita tiba-tiba seperti punya jawaban pembenaran. Semacam
konfirmasi. “Tuh
kan, emang bener, daya beli turun.
Jadi wajar, kan?”
Pada saat saya
tulis kolom ini pun banyak yang menunjukkan gejala serupa: mainan anak-anak
juga turun signifikan. Sama dengan data dari asosiasi pengusaha angkutan truk.
Mengapa kita
tak belajar dari pertarungan mainan anak-anak antara Hasbro (yang naik terus
penjualanannya karena bertransformasi dari mainan monopoli ke mainan
transformer yang kaya "experience" dan online games) dengan Mattel
(yang dari masa ke masa hanya membuat boneka Barbie).
Para penjaja
mainan juga luput memonitor beralihnya anak-anak ke permainan yg menantang
seperti gym anak-anak, parkour dan mainan lain yang kaya engagement.
Namun alih-alih
membaca weak
signals, hari-hari ini komentar yang sering kita dengar justru
lebih banyak menghibur diri untuk membenarkan turunnya pencapaian target.
Lantas
pertanyaannya, “memangnya kalau kondisi kembali membaik menurut versi itu,
katakanlah sekarang daya beli benar-benar turun (bukan shifting), nanti
manakala benar-benar sudah kembali lagi, katakanlah setahun dari sekarang , dan
daya beli membaik besar-besaran, lantas penjualan produk/jasa Anda benar-benar
kembali naik?”
Come on, my brother. Itu benar-benar perangkap. A confirmation trapkarena
puluhan pelaku usaha di bidang yang konvensional semua membenarkannya. Dan Anda
pun memiliki satu buah perangkap lagi: A blame trap. Ya, kita
terlalu senang mencari, pertama-tama, siapa yang bisa kita blame,
kita salahkan, bukan memecahkan masalah yang sebenarnya.
Realitas lain
Kebetulan sejak
buku Disruption beredar akhir februari lalu, di Rumah Perubahan kami mulai
mengkaji kejadian-kejadian yang berada di luar orbit konvensional.
Kami
mendengarkan, mengecek kebenaran, mengumpulkan fakta-fakta yang terjadi dalam
aneka usaha yang berkembang di luar orbit yang kasat mata itu.
Kami membuat
semacam case
study dan menyebarkannya kepada sejumlah eksekutif. Sebulan
sekali mereka datang dan mengikuti kuliah saya, membahas kasus-kasus itu
sehingga mereka bisa membedakan mana kasus tentang bisnis yang salah urus dan
mana yang terimbas disruption. Kami membagi ke dalam dua kelompok.
Kelompok
pertama, adalah para CEO dan pejabat-pejabat Eselon 1, komisaris perusahaan,
para rektor dan pemimpin-pemimpin strategis. Kami membahas bagaimana
mereformulasi strategi di era ini. Lalu kelompok kedua diikuti orang-orang
marketing dan sales, para CMO (Chief Marketing Officer).
Dalam setiap
pertemuan, kami menghadirkan CEO –CEO yang melakukan disruption dan yang
terdampak oleh disruption. Dari situ kami mengetahui apa yang setidaknya
terjadi atau bakal terjadi.
Kami jadi
mengerti mengapa penjualan sepeda motor turun, sementara kendaraan yang lain
justru tengah kebanjiran permintaan. Kami jadi mengerti mengapa Sevel ditutup,
mengapa supermarket-supermarket besar kini kesulitan akibat perbaikan
distribusi yang dilakukan produsen-produsen besar.
Kami jadi
mengerti mengapa suasana perdagangan di Harco (Glodok), Mangga Dua dan bahkan
Pasar Tanah Abang serta Electronic City yang dulu ramai kini mulai terganggu.
Kami juga
mengecek sektor-sektor non-konvensional. Tidak terlalu sulit karena dua start
up lahir dari tempat kami, yang satu situs pengumpulan dana (crowd funding) dan
satu lagi situs peternakan yang semua saling terjalin kerjasama dengan start
up-start up besar Nusantara lainnya dalam bidang fintech dan retail. Kami bisa
lebih mudah mengintip data-data mereka.
Dari berbagai
pertemuan dengan para CEO itu, saya juga mendapatkan data-data yang
bertentangan dengan pandangan tentang memudarnya daya beli.
Minggu lalu
saya juga sempat makan malam dengan CEO perusahaan tepung tererigu besar yang
langsung mengecek data produksi dari ponselnya. Ia mencatat kenaikan permintaan
yang masih terus berlanjut meskipun hari raya telah lewat. Bahkan hari raya
Lebaran saja ia mengaku sebagian besar pegawainya tak bisa libur demi mengejar
produksi.
Tetapi yang
lebih menarik adalah membaca data-data perputaran uang dalam bisnis
non-konvensional yang akhirnya tampak dalam bidang logistik.
Saya memilih perusahaan
yang paling sering disebut situs-situs belanja online semisal JNE atau JNT.
Sekali lagi dari JNE saya mendapatkan data pengiriman barang yang sangat
signifikan.
Tetapi yang
mengagetkan saya terutama adalah perubahan pola penyaluran barang dan sentra-sentra
pengiriman. Harus kita akui, shifting yang tengah
terjadi sangat berdampak pada semua pemain lama.
Tak banyak yang
menyadari bahwa beras dan bahan-bahan pokok yang dibeli para pedagang dan
konsumen di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi saja sudah berawal dari Tokopedia
dan Bukalapak.
Barang-barang
pangan itu juga bukan lagi diambil dari sentra-sentra konvensional yang selama
ini kita kenal. Petanya telah berubah.
Saya juga
membaca bahwa perbaikan di sektor perhubungan, khususnya tol laut, jalan tol,
pelabuhan-pelabuhan dan bandara-bandara baru telah membuat rezeki beralih dari
pedagang-pedagang besar di Jakarta, Bandung, dan Surabaya ke berbagai daerah.
Dari pengusaha-pengusaha besar ke ekonomi kerakyatan.
Saya ingin
kembali ke rekan saya, Perry Tristianto, si raja FO yang tadi saya ceritakan.
Karena penjualan FO sudah bukan zamannya lagi dan turun terus, ia pun telah
mengalihkan usahanya dari ritel konvensional ke bidang wisata.
“Saya menemukan
perbedaannya. Justru sekarang daya beli itu ada di segmen bawah. Mereka yang
naik sepeda motor bersama keluarga mampu ke kawasan wisata, dipungut biaya, dan
mengucapkan terima kasih. Sementara yang membawa mobil Mercedes komplain:
mengapa harus bayar?"
Saya mengerti
fenomena disruption ini
masih sulit dipahami para incumbents yang telah
bertahun-tahun menjadi "penguasa" dalam bisnisnya masing-masing.
Namun hendaknya kita sadar bahwa banyak hal telah berubah dan kita telah
tinggal dalam kubangan aneka perangkap, di antaranya adalah "the
past (success) trap".
Saya tak
mengatakan daya beli telah tumbut besar-besaran. Saya hanya mengatakan terlalu
dini menuding penurunan pendapatan dan penjualan karena daya beli. Mungkin
bukan itu masalahnya.
Mari kita ikuti
terus fenomena disruption ini. (Kompas.com)
No komentar yet. Add your komentar now!
Post a Comment